
Mahasiswa Indonesia Kuliah Havard
Muhamad Yani, anak pedagang nasi goreng asal Pandeglang, Banten berhasil menembus Harvard University. Dari tidur di jalan hingga diterima di kampus top dunia, Yani membuktikan bahwa mimpi tak mengenal batas.
1. Kisah Inspiratif
Cerita Yani bukan sekadar inspiratif, tapi luar biasa. Ia pernah tidur di jalan selama 10 hari karena tak mampu membayar kontrakan. Namun, keterbatasan ekonomi tidak pernah mematahkan semangatnya.
Berbekal tekad kuat, ia menyelesaikan studi S1 di Universitas Udayana, Bali, dan menemukan panggilan hidupnya di dunia pendidikan dan pemberdayaan pemuda desa.
Tak berhenti di situ, Yani mendirikan Leuweung Hub Foundation, gerakan pendidikan non-formal yang telah membantu lebih dari 287 pelajar desa meraih beasiswa.
Ia juga memimpin program Duta Inisiatif Indonesia, yang telah menjangkau lebih dari 41.000 anak muda di 34 provinsi.
Tak hanya dikenal karena aksi sosialnya, Yani juga punya prestasi internasional. Ia sukses mengembangkan teh herbal Ecobestea, yang mengangkat potensi tanaman lokal Indonesia dan bahkan meraih medali perak di pameran inovasi internasional di Kroasia.
2. Ungkap Rasa Syukur
Saat kami menghubungi Yani lewat WhatsApp pada Rabu (16/4/2025) saat di bandara menjelang keberangkatannya ke Amerika Serikat, ia tak henti-hentinya mengungkapkan rasa syukur.
3. Anak dari Pedagang Nasi Goreng
Kabar membanggakan datang dari pelosok Cibaliung, Pandeglang, Banten. Muhammad Yani, pemuda asal daerah ini, diterima di Harvard University, salah satu kampus paling bergengsi di dunia. Siapa sangka, Yani adalah anak dari seorang pedagang nasi goreng bernama Androni.
Setiap hari, Androni dan istrinya berjualan nasi goreng di pinggir jalan demi menyambung hidup. Meski hanya lulusan sekolah dasar, mereka membesarkan empat anak dengan penuh perjuangan.
“Saya dan istri pernah tidur di emperan toko karena tak mampu bayar kontrakan. Tapi kami selalu bilang ke anak-anak, jangan pernah berhenti bermimpi,” ungkap Androni.
Androni menceritakan perjuangannya selama bertahun-tahun untuk menghidupi keluarga.
“Saya sudah jualan nasi goreng dari tahun 2004, keliling, demi menghidupi empat orang anak. Yani anak kedua. Kami sempat ngontrak selama tujuh tahun di depan BNI Pasar Cibaliung. Waktu itu susah, belum kenal siapa-siapa, anak sudah sekolah, tapi enggak ada uang jajan. Saya sampai mulung, ngambil botol, kardus demi anak-anak bisa sekolah,” kenangnya.