Pangeran Diponegoro secara visual sering ditampilkan mengenakan jubah dan sorban. Visual ini kemudian diproduksi terus-terus melalui media dan sarana pendidikan di banyak buku sekolah.
Pertanyaannya, siapa yang pertama kali menampil Pangeran Diponegoro dengan visual seperti itu? Jawabannya adalah Adrianus Johannes Bik.
Bik adalah hakim di Batavia yang suka melukis. Saat bertugas, kebetulan Pangeran Diponegoro sedang berada di penjara pada April-Mei 1830. Kebetulan lagi, pengawas penjaranya adalah Bik.
Pada titik ini, sebagaimana dipaparkan Peter Carey dalam Kuasa Ramalan (2011) Bik meminta izin melukis potret diri Pangeran Diponegoro. Dia melukis menggunakan pensil di atas kertas. Dia lantas menggambarkan Diponegoro memakai sorban, baju koko dan jubah. Plus, selempang yang ditaruh ke bahu kanan dan keris pusaka yang diselipkan di ikat pinggang.
Banyak orang menganggap, goresan tangan Bik yang paling akurat. Sebab dia berkesempatan melihat langsung Pangeran Diponegoro semasa hidup. Dari sini, visual seperti itu dilukiskan oleh para pelukis pribumi.
Sebut saja, seperti Raden Saleh. Pada 1847, dia melukiskan Diponegoro memakai sorban dan jubah dalam karya monumentalnya berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro. Selain Saleh, ada juga Basoeki Abdullah yang juga menggambarkan hal sama. Sejak itu sampai sekarang, kita diperlihatkan Pangeran Dipenogoro yang memakai jubah dan sorban.
Lalu, pertanyaan kedua adalah kenapa Pangeran Dipenogoro yang orang Jawa tulen lebih memilih memakai jubah dan sorban, yang identik dengan Muslim, dibanding pakaian Jawa?
Sejarah mencatat awalnya Diponegoro memakai pakaian Jawa. Namun, suatu waktu dia bertukar dengan pakaian dengan saudaranya, Ibrahim, yang keturunan Arab. Dari sini, dia kemudian memakai sorban dan jubah seperti yang dilihat sekarang.
Kala itu juga, budaya Arab menjadi objek kekaguman banyak orang Jawa. Ini bisa terjadi karena banyak orang Jawa pada tahun 1800-an mengagumi kebesaran Kekaisaran Turki Utsmani. Mereka menganggap Turki Ustmani sebagai simbol kekuatan Islam di Timur Tengah yang bisa melindungi upaya Kristenisasi yang datang dari Eropa.
Ketika euforia Turki Utsmani berlangsung di Jawa ditambah semangat perjuangan melawan Belanda, Diponegoro sebagai pemimpin turut mengadopsi kebiasaan-kebiasaan Arab yang ditonjolkan Turki Utsmani. Sebut saja saat menyusun kategori pasukan berdasarkan warna sorban, penentuan pangkat, dan nama pasukan militer.
Hanya saja, tak diketahui catatan yang menunjukkan hubungan penggunaan sorban dan jubah oleh Diponegoro dengan budaya Turki Utsmani. Satu hal yang pasti, tujuan Diponegoro memakai sorban adalah sebagai simbol perlawanan terhadap Belanda dan pemimpin spiritual keagamaan.