Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menyebutkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang perubahan ketentuan pemilihan kepala daerah (pilkada) harus diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Supratman Andi Agtas mengatakan hal tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) terkait pemilihan umum (pemilu) maupun UU terkait pilkada.
“Tapi apapun keputusan itu tentu akan menjadi bahan bagi kami nanti untuk menyampaikan kepada Presiden,” ujar Supratman saat ditemui usai acara Serah Terima Jabatan Menkumham di Jakarta, Selasa.
Sementara itu, Menkumham periode 2014-2024 Yasonna Laoly menilai urusan PKPU terkait keputusan MK tentang pilkada merupakan kewenangan KPU. Keputusan itu akan diteruskan dari KPU ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk kemudian dibahas PKPU-nya.
“Sekarang ini kan keputusannya masih baru, belum kita lihat semua pertimbangan hukum dan lain-lain. Tunggu kita lihat, kita baca dengan pelan-pelan,” ucap Yasonna dalam kesempatan yang sama.
Adapun MK melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas (threshold) pencalonan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.
Lewat putusan itu, MK menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon. Penghitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon melalui partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah dalam pemilu di daerah yang bersangkutan.
“Amar putusan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan untuk perkara yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora itu di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Selasa.
Pada perkara tersebut, Partai Buruh dan Partai Gelora mempersoalkan konstitusional Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Dalam pasal itu, partai politik yang bisa mengajukan calon hanya yang memiliki kursi di DPRD wilayah tersebut.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan bahwa Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Karena keberadaan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada merupakan tindak lanjut dari Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada, maka MK menyatakan harus juga menilai konstitusional yang utuh terhadap Pasal 40 ayat (1).
Dengan demikian, MK memutuskan Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada harus pula dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang telah dijabarkan di atas.