Lebanon bisa menghadapi pemadaman listrik total dalam beberapa hari mendatang karena cadangan bahan bakar negara itu habis, kata Raja Ali, mantan penasihat Menteri Energi dan Sumber Daya Air negara tersebut, kepada Sputnik, Jumat.
“Kemungkinan pemadaman listrik terjadi setiap hari. Ini bukan pertama kalinya, karena jaringan listrik Lebanon sangat rapuh dan permintaan tinggi,” kata Ali.
Dia menjelaskan bahwa hanya dua pembangkit listrik di Lebanon – Deir Ammar dan Zahrani – yang kini beroperasi, dengan menyediakan hingga 70 persen listrik di negara tersebut.
Kedua pembangkit itu menggunakan bahan bakar diesel, tetapi Lebanon telah kehabisan cadangannya, katanya.
Ali menambahkan bahwa di banyak daerah, termasuk sebagian ibu kota, listrik yang disuplai pemerintah dibatasi hanya dua hingga tiga jam per hari.
“Saat ini hanya pembangkit listrik Zahrani yang berfungsi, artinya besok mungkin tidak ada listrik yang disuplai negara sama sekali,” ungkap Ali.
Dia juga mengingatkan bahwa Kementerian Energi Lebanon telah mencapai kesepakatan dengan Irak untuk memasok negara itu dengan 1 juta ton minyak mentah setiap tahunnya. Minyak mentah ini diolah oleh pihak ketiga menjadi bahan bakar diesel untuk Lebanon.
Namun, Kementerian Energi Lebanon telah gagal membayar Irak untuk minyak mentah tersebut, sehingga menyebabkan penghentian pasokan. Mulai Desember lalu, perusahaan energi Lebanon seharusnya mulai menanggung biaya-biaya ini.
Sebagai tindakan sementara, Ali menyebutkan pembangkit listrik mungkin akan dipasok dari cadangan bahan bakar tentara – sekitar 5.000 ton – atau melalui pembelian pembangkit listrik terapung.
Namun, masih belum jelas berapa banyak dari total kebutuhan energi negara yang dapat dipenuhi, lanjutnya.
Menanggapi ancaman Israel yang akan mengebom pembangkit listrik yang tersisa di Lebanon jika terjadi operasi militer skala besar, Ali menunjukkan bahwa ancaman ini tidak berdampak sebesar yang terlihat, mengingat warga Lebanon telah mengandalkan sumber energi alternatif selama 18 hingga 22 jam sehari, tergantung wilayahnya, selama beberapa tahun.
“Aspek teknis adalah yang paling mudah untuk diselesaikan. Memulihkan pasokan listrik 24 jam tidak akan memakan waktu lama jika ada kemauan politik dan pengambilan keputusan. Namun, kita menghadapi tingginya tingkat korupsi dalam struktur kekuasaan Lebanon,” ujar Ali saat ditanya mengenai hambatan dalam mengatasi krisis energi negara tersebut.
Mantan penasihat tersebut juga mendesak pihak berwenang Lebanon untuk mempertimbangkan kerja sama dengan Rusia.
“Rusia dapat memberikan bantuan yang signifikan dalam bidang ini. Mereka memiliki teknologi energi yang maju dan proyek-proyek inovatif. Itu semua tergantung pada kemauan dan keputusan kepemimpinan (Lebanon),” paparnya.
Krisis listrik di Lebanon masih belum terselesaikan sejak berakhirnya perang saudara pada awal 1990-an. Sebelum krisis ekonomi terjadi pada Oktober 2019, listrik negara telah disalurkan ke warga di berbagai kota dan daerah selama 12 hingga 18 jam sehari.
Setelah krisis dimulai, jumlah pasokan tersebut turun menjadi dua hingga delapan jam setiap hari.
Ketika negara kehabisan cadangan bahan bakar, Lebanon dapat mengalami pemadaman total yang berlangsung hingga selama beberapa pekan. Dalam kondisi tersebut, genset diesel menjadi sumber energi alternatif, dengan para pemilik alat tersebut telah lama berupaya melobi untuk menghambat penuntasan krisis energi guna melindungi kepentingan bisnis mereka.